Sabtu, 16 Agustus 2008

Produksi sawit

PERKEBUNAN

Produksi Sawit
Terancam Turun

RADAR PALEMBANG, SAWIT-Produksi perkebunan sawit di Sumsel dalam dua hingga tahun kedepan terancam turun. Lantaran rendahnya pendapatan karena turunnya harga CPO (culd palm oil), membuat petani lebih berhemat dalam melakukan pemupukan.
Perkebunan sawit terancam, lantaran untuk Sumsel sekitar 50 persen merupakan perkebunan rakyat. Areal inilah yang nantinya kurang mendapat asupan nutrisi dari pupuk urea. Apalagi, saat ini harga pupuk sudah sangat tinggi, bahkan sejak awal tahun ini telah terjadi kenaikan harga hingga 300 persen.
“Bagaimana petani kita bisa melakukan pemupukan jika harganya sudah naik hingga 300 persen,” ujar Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumsel, Sumarjono Saragih sebelum melakukan rapat bulanan anggota Gapki di ruang pertemuan PT Sampoerna Agro, kemarin.
Diakuinya, kurangnya pasokan pupuk ini pengaruhnya baru akan terasa selama dua hingga tiga tahun ke depan. Produksi sawit rakyat akan turun dratis, sebab tanpa asupan pupuk yang tepat tanaman tidak dapat menghasilkan buah yang baik. Kandungan unsure N, P, dan K dalam urea sangat dibutuhkan. “Rakyat tidak mampu memenuhi biaya produksi untuk pupuk saja yang kini mencapai Rp 7 juta perhektar pertahun.”
Sementara itu, di tengah tingginya harga pupuk, harga tandan buah segar (TBS) yang mereka peroleh juga mengalami penurunan. Turunnya harga TBS berakibat dari mulai menurunnya harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar internasional yang terjadi sejak dua minggu terakhir. Harga jual lokal untuk CPO dari Rp 8000 perkilogram turun menjadi Rp 6 ribu. Konsekuensinya harga TBS juga turun, dari Rp 1.600 menjadi hanya Rp 1.300 perkilogram.
“Kalau kami lihat terjadi anomali pasar, trend produksi turun sementara permintaan meningkat, tetapi harganya justru turun. Ada analisis bahwa ada unsure spekulasi traider besar yang tadinya menahan stok sampai naik harga, kemudian setelah harga tinggi dia melepas produksinya,” jelas Sumarjono. Produksi CPO secara nasional mencapai 18 juta ton dan alokasi untuk domestik mencapai 30 persen.
Gapki sendiri belum mempunyai solusi konkret mengenai permasalahan ini. Kebutuhan pupuk juga cenderung alami peningkatan sementara suplay terbatas. Belum lagi, setiap tahun luasan areal perkebunan sawit provinsi ini mengalami peningkatan rata-rata 10-15 persen. “Sekarang ada semacam stagnasi produksi.”
Tak hanya persoalan pupuk saja yang menyulitkan pengembangan sawit di provinsi ini melainkan menyangkut penyediaan bibit. Sejak dua tahun terakhir, bibit sawit termasuk barang langka, dari 11 produsen sawit yang ada di negara ini baru bisa memenuhi 75 persen kebutuhan bibit. Setiap tahun kebutuhan bibit mencapai 240 juta kecambah sedangkan produksi nasional baru mencapai 180 juta kecambah. Guna memenuhi kekurangan tersebut, negara ini mengimpor dari Kostarica.
Menghadapi musim kemarau yang mulai diwarnai dengan munculnya kabut asap, menurut Sumarjono, anggota Gapki diminta komitmenya untuk tidak melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. Namun, sambung dia, bisa jadi kebakaran yang timbul sekarang akibat masyarakat yang mengambil jalan mudah dengan membakar lahan. Jika nantinya ditemukan perusahaan yang melakukan pembakaran maka perusahaan itu sendiri yang akan menanggung akibatnya.(ade)

Perkembangan Harga Kelapa Sawit
Bulan CPO (Rp) TBS (Rp)
Periode I Periode II Periode I Periode II
Januari 7141,5 7539,40 1455,60 1543,64
Februari 7750,15 7951,80 1605,39 1652,08
Maret 8303,24 8371,85 1710,55 1741,40
April 8457,78 8147,59 1749,61 1672,66
Mei 8399,76 8665,42 1735,04 1794,62
Juni 8862,51 9928,44 1828,44 2025,58
Juli 8447,11 8206,49 1720,64 1655,93

Ket: Periode I dihitung minggu pertama dan minggu kedua
Periode II dihitung minggu ketiga dan minggu keempat
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sumsel

Tidak ada komentar: